Indonesia : Republik Tanpa Nasi

Nurul Selen Azizah ASP
3 min readApr 17, 2018

--

Tulisan singkat penuh cacat dari seorang mahasiswa yang sedang belajar bersuara

(sumber gambar : amazonaws.com)

“Sebuah ancaman besar bagi kebebasan adalah serangan terhadap hak untuk membahas isu-isu politik, mencari sumber-sumber informasi alternatif, dan mempromosikan dissenting ide dan penyebab seperti non-intervensi dalam urusan luar negeri dan dalam negeri. Jika serangan ini berlangsung pada kebebasan berbicara berhasil, maka semua kebebasan kita yang terancam punah.” Ron Paul, 2016

Sebagai manusia pada dimensi milenium yang menjunjung embel-embel manusia bebas dan tanpa kekangan akan selalu menginginkan dirinya dapat berekspresi. Ekspresi di setiap saat, waktu, kondisi dalam hal apapun berupa ekspresi fisik maupun ekspresi pikiran. Ekspresi pikiran ini biasa dilafalkan dan dieja dengan “kebebasan berpendapat”. Asal muasal pendapat ini dari diri manusia yang dengan keadaan sadarnya melahirkan sebuah pikiran. Pikiran manusia menciptakan konsep dan bahasa yang berguna untuk memahami segala sesuatu (https://rumahfilsafat.com/). Dalam arti ini, dapatlah dikatakan, bahwa pikiran menciptakan segalanya yang diketahui manusia. Namun, pikiran manusia tak semata-mata menjadi sesuatu yang diagung-agungkan, pikiran manusia ini memiliki kelemahan. Sejatinya, ia bersifat kosong, sementara dan tidak pasti. Pikiran manusia tidak mencerminkan kebenaran, melainkan hanya aktivitas mental subyektifnya saja. Ia datang dan pergi, bagaikan melihat mata air pada padang pasir. Manusia cenderung mengira, bahwa pikirannya nyata. Mereka mengira, bahwa pikirannya adalah kebenaran. Inilah sumber dari segala penderitaan batin dan konflik antar manusia, yakni dari pikiran kacau yang dianggap sebagai kebenaran. Inilah yang menjadikan manusia mahluk percaya diri yang selalu mengganggap pikirannya benar dan berbagi kepada teman ataupun kerabat lainnya, padahal itu hanya konsep yang salah kaprah dalam pikirannya.

Di Indonesia sendiri kebebasan berpendapat telah diatur sedemikian rupa demi menjunjung prinsip negara demokrasi . Undang-Undang No 9 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” hal ini sebagai pedoman bagi para pribumi yang ingin menyampaikan segala pikirannya dengan media yang dia miliki. Namun ada satu dari pernyataan tersebut yang terlewat yaitu “tanggung jawab”. Masyarakat tak ubahnya seperti seorang bayi yang diberikan soal matematika oleh sang ibu, seperti orang yang tak tahu apa-apa bahkan tak peduli apa itu tanggung jawab. Mengubah sebuah kebenaran, dengan semata-mata menyalurkan pikirannya dimana-mana tanpa melihat apakah itu menimbulkan masalah bagi orang lain atau sesuai dengan kenyataannya yang akhirnya menjadi hoax.

Hoax sendiri muncul akibat adanya situasi yang memungkinkan, situasi di Republik ini seakan mendukung untuk penyebarannya. Masyarakat yang sangat mudah terseret arus zaman, yang menjadikan dirinya trend-er buka pinter (dalam bahasa jawa artinya pintar). Percaya akan semua berita yang muncul di berbagai media tanpa memilah. Padahal berita itu muncul dari pikiran manusia yang menyembunyikan kebenaran, mengarang sebuah cerita, bahkan hanya ingin menyampaikan imajinasinya saja. Ironisnya media masa yang pada zaman kemerdekaan sebagai “pahlawan” dalam bebasnya republik ini dari kolonialisme malah ikut terseret dalam pemberitaan berita hoax ini. Kebebasan berpendapat ini harus dimaknai dengan tanggung jawab tidak boleh berlebihan dan harus selalu dilakukan dalam keadaan jernih.

Kita sebagai konsumen “nasi” yang harus bijak dalam memilih nasi yang sesuai dari segi kualitas maupun kuantitas. Sayangnya, artikel ini pun belum mampu memberikan solusi atas masalah kebebasan berpendapat yang disalahkaprahkan yang ironisnya terjadi di negara ini. Namun setidaknya, pahamilah bahwa bagi beberapa orang, atau mungkin bagi seluruh penduduk konsumen berita di Indonesia, negara ini adalah republik tanpa nasi, di mana sebagian orang makan tanpa merasa kenyang.

sumber :

(http://newurbanreview.com/city-voice/kota-tanpa-kafein/)

(https://rumahfilsafat.com)

Undang-Undang No 9 Tahun 1998

--

--

Nurul Selen Azizah ASP

Bukan Penikmat Kopi tapi penikmat Sherlock | Hello I am ENTJ