Gusar Gusur Kesannya Kasar bikin Gusar

Nurul Selen Azizah ASP
4 min readJan 24, 2021

--

“Rasa manusia dengan tempat bisa dinilai tapi tidak rasaku ke kamu…” (Anonim, 2021)

Pernah mendengar berita tentang penggusuran? Saya rasa sudah sangat tidak asing lagi di telinga penduduk Indonesia. Meminjam data yang dipublish oleh tirto.id, menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) tahun 2018 terdapat 79 titik penggusuran yang menimpa 277 kepala keluarga. Titik penggusuran tersebut rata-rata kumpulan rumah-rumah yang sudah membentuk komunitas satu sama lain. Kemudian penulis menelusuri lagi terkait kasus penggusuran di saat pandemi, ternyata ada beberapa penggusuran. Dalam prakteknya penggusuran ini sering menimbulkan konflik, bak ending dari film Dilan “aku dan kamu tidak berakhir bahagia”

Penggusuran benar atau salah?

Fenomena penggusuran sebenarnya tidak hanya menimpa Negara berkembang saja namun juga terjadi di Negara maju. Seringnya, penggusuran terjadi dalam skala besar, dimana sejumlah besar masyarakat dipaksa untuk pindah dari rumah tempat tinggalnya. Penggusuran juga biasanya ditujukan kepada kaum marjinal, penghuni liar atau pemukiman liar dengan alasan perbaikan ruang publik dan penuntasan kemiskinan. Sayangnya dalam banyak kasus, korban penggusuran tidak mendapatkan kompensasi maupun alternatif tempat tinggal. Paradigmanya penggusuran menjadi jalan ninja untuk menggenjot produktivitas ekonomi hal ini diakibatkan lahan penggusuran rata-rata terletak di pusat kota yang mana memiliki nilai ekonomi yang tinggi . Harga tanah dan properti di sekitar lahan tergusur biasanya akan meroket setelah dikosongkan dari warga yang dahulu menempati (Dupoin, 2008). Selain itu, pengadaan lahan dengan memindahkan atau merelokasi warga dianggap secara ekonomi lebih efisien karena tidak banyak biaya yang harus dikorbankan. Jika bicara soal hukum, kasus penggusuran terutama di hunian liar ini memang melanggar hak milik tempat. Jika bicara soal tata ruang hunian liar juga terkesan merusak wajah kota dan menyita ruang publik. Lalu penggusuran ini sebenarnya dibenarkan atau disalahkan?

Hubungan Manusia dengan Tempat

Dalam beberapa kasus penggusuran ada yang sifatnya merelokasi ke tempat yang dirasa “lebih baik” dan “lebih layak” namun konflik tetap tidak terelakan, warga menolak untuk menempati hunian baru dan tetap keukeh untuk tinggal. Sebenarnya dalam studi didapatkan bahwa manusia dan tempat ini memiliki hubungan yang krusial. Setiap tempat dibangun untuk mendukung kegiatan tertentu, sehingga kegiatan bisa mengacu pada tindakan yang diberikan oleh tempat. Salah satu konsep yang menekankan hubungan antara pengalaman sosial dan area geografi adalah sense of place. Sense of place dipandang berupa kesan yang ditimbulkan dan dipresepsikan oleh individu kemudian muncul membentuk makna subjektif (Hashemnezhad, 2013). Gampangnya adalah manusia dan tempat akan menimbulkan ikatan satu sama lain dan ikatan tersebut dapat dihitung seberapa besar kekuatannya, jika manusia nyaman dengan tempat tersebut atau sebaliknya. Sense of place ini juga mempengaruhi masyarakat dalam memilih dan memanfaatkan ruang-ruang yang ada. Oleh karena itu sense of place adalah sebuah konsekuensi dari hubungan timbal balik antara manusia dengan timpat tinggalnya. Menurut para ahli, sense of place memiliki hubungan yang kuat dengan beberapa variabel seperti komunitas, rasa memiliki, karakter tempat, kekeluargaan, dan rasa kualitas hidup. Hal ini mengusulkan bahwan hubungan ini dapat digunakan sebagai dasar mengukur dimensi ruang. Dalam mengevaluasi atau menilai lingkungan, sense of place dinilai berdasarkan aspek kunci dari place (tempat), yaitu fisik, fungsional (kegiatan), dan psikologi (emosional) (Yusoff, et al. 2011). Aspek fisik ini seperti aksesibilitas tempat, atraktivitas tempat serta kelengkapan fasilitas. Aspek Emosional ini seperti kesan tinggal, rasa aman, rasa senang. Sedangkan aspek fungsional ini keterlibatan, ketergantungan, keakraban dan kenyamanan. Ketiga aspek ini dapat dinilai dan diklasifikasikan menjadi 4 skala. Beberapa tempat yang memiliki sense of place yang tinggi, maka akan mendorong orang diam disana dan tinggal lebih lama, begitu sebaliknya.

Sense of Place sebagai pendekatan penyelesaian masalah

Telah dijelaskan diatas bahwa hubungan masyarakat dengan tempat dapat diukur dengan sense of place. Jika diterapkan dalam kasus penggusuran dan relokasi ini sense of place menjadi pendekatan yang cocok dalam mengurangi konflik. Tiga aspek, yaitu aspek fisik; emosional; dan fungsional dapat dinilai lalu dikelompokan dalam 4 skala yaitu tidak memiliki sense of place; mengetahui suatu tempat; merasa menjadi bagian dari suatu tempat; terikat pada suatu tempat. Sederhananya, tempat-tempat yang “dirasa harus” digusur diidentifikasi bagaimana nilai sense of place. Jika sudah ketahuan maka rekomendasi atau pengambilan kebijakannya akan tepat dan tidak menimbulkan konflik. Selain itu pendekatan dengan sense of place ini dapat mengubah dari “daerah yang harus digusur” menjadi “daerah yang dikembangkan” karena dalam konsepnya apabila sense of place tinggi maka masyarakat memiliki rasa untuk mengembangkan tempat tersebut dan dapat mengubah citra yang awalnya negatif menjadi positif dan viola berakhirlah bahagia. Penggusuran tidak terjadi, wajah kota juga tetap manis, ekonomi tetap berjalan. Apabila tetap harus digusurpun, relokasi ke tempat lain tidak akan menimbulkan konflik, karena pengambil kebijakan tahu apa keinginan masyarakat tersebut. Dalam identifikasi sense of place masyarakat ini memang membutuhkan waktu studi yang cenderung lama serta tenaga yang besar. Namun apa salahnya, demi pembangunan yang menguntungkan kedua belah pihak dan bermuara ke masyarakat

Nb: tulisan ini dipersingkat, diskusi lebih lanjut selen.azizah@gmail.com

Refrensi :

https://tirto.id/lbh-jakarta-2018-laporan-penggusuran-dki-terjadi-di-79-titik-ddai

https://mediaindonesia.com/nusantara/345344/puluhan-rumah-warga-di-batu-cermin-digusur

Hashemnezhad, H., Yazdanfar, A., Heidari, A., Behdadfar, N. (2013). Comparison the concepts of Sense of place and attachment to place in Architectural Studies. Malaysia Journal of Society and Space.

Najafi, M., & Shariff, M. K. B. M. (2011). The concept of place and Sense of place in architectural studies. World Academy of Science, Engineering and Technology (Vol. 80).

Shamai, S. (1991). Sense of place: An empirical measurement. Geoforum, 22(3), 347–358.

Shamai, S., & Ilatov, Z. (2005). Measuring sense of place: Methodological aspects. Tijdschrift Voor Economische en Sociale Geografie, 96(5), 467–476.

Shamsuddin, S., & Ujang, N. (2008). Making places: The role of attachment in creating the Sense of place for traditional streets in Malaysia. Habitat International (Vol. 32).

Tuan, Yi -Fu, (1977), Space and Place The Perspective of Experience, University of Minnesota Press, Minneapolis.

Yusoff, Y.M. et al. 2011. “Sense of Community Through Neighborhood Center,” dalam Jurnal Design + Built. Vol.4

--

--

Nurul Selen Azizah ASP

Bukan Penikmat Kopi tapi penikmat Sherlock | Hello I am ENTJ